Tentang Jurnal Ini
NATAR (Jurnal Prodi Seni Murni ) diterbitkan oleh Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Kesenian Jakarta dua kali setahun, bulan Januari dan Juli. Dikelola oleh Prodi Seni Murni
Terbitan Terkini
Pengantar Redaksi
Dengan senang hati, Program Studi Seni Murni FSRD IKJ mempersembahkan Jurnal NATAR ke hadapan para pembaca sekalian untuk pertama kalinya. Upaya yang telah disusun sekian lama ini tentu bukanlah hal yang mudah bagi kami mengingat keterbatasan sumber daya dan pengalaman dalam mengelola jurnal ilmiah. Dalam edisi perdana ini, sedikitnya ada tiga pokok utama yang tertuang dalam enam tulisan yang berhasil kami sajikan. Pertama ialah fokus pembahasan pada isu urban atau praktik kesenian perkotaan yang tidak lagi menempatkan Jakarta sebagai objek kajian, melainkan Semarang dan Makassar, melalui kontribusi dari Ahmad Khairuddin dan Anwar Jimpe Rachman. Kedua, ialah fokus pada kaitan antara tema kesejarahan dan institusi seni di Indonesia, melalui tulisan Ibrahim Soetomo dan Kurniwati Gautama. Topik mengenai identitas ke-indonesiaan hingga tantangan pendidikan seni di Indonesia dielaborasi dengan cukup rinci dalam kedua tulisan ini. Ketiga, kita dapat melihat bagaimana esai yang ditulis oleh Tri Aru Wiratno dan Wina Luthfiyya Ipnayati disusun berdasarkan gagasan mereka sebagai penulis dan perupa. Tri Aru menyusun argumentasinya mengenai paradigma kritik seni rupa di Indonesia; sementara Wina Luthfiyya menghadirkan sebuah pemaparan mengenai gagasan proyek seni yang ia susun dalam upaya melestarikan kesenian tradisional.
Dalam tulisan berjudul Sense of Place dan Place Making di Kampung Bustaman Menggunakan Medium Seni dalam kasus Tengok Bustaman IV, Ahmad Khairudin memaparkan mengenai studi terhadap sense of place dan place attachment dalam konteks Festival Tengok Bustaman IV. Sebagai bagian dari kegiatan Kolektif Hysteria bersama warga Kampung Bustaman, program ini hadir sebagai upaya untuk mencari formula praksis seni seperti apa yang relevan untuk kasus kota Semarang. Penelitian ini menunjukan ada tujuh hal yang mempengaruhi sense of place terhadap kampung bekerja cukup baik. Tempat lahir, waktu yang dihabiskan, memori, pengalaman, keterlibatan dalam kegiatan, rasa hormat yang didapat, berjalin kelindan dengan studi mengenai place attachment. Selain itu place making juga menjadi bagian tak terpisahkan dan sekaligus strategi kultural mereka untuk meneguhkan identitas, menguatkan solidaritas, dan pernyataan politis.
Anwar Jimpe Rachman menyajikan studi yang mengkaji halaman rumah, dalam tulisan berjudul Kembali ke “Halaman Rumah”: Tawaran Perspektif untuk Seni Urban. Jimpe melihat halaman rumah sebagai ruang terdekat bagi masyarakat urban sekaligus ranah yang sejak lama diabaikan. Sebaliknya, halaman rumah telah didayagunakan oleh Jimpe dan kawan-kawan Tanahindie, satu komunitas di Kota Makassar dalam program-program penelitian maupun agenda seni seperti Makassar Biennale. Cara-cara yang mereka lakukan tak lain untuk menyiasati keterbatasan ruang dan menguatkan ikatan dan hubungan sosial di perkotaan. Dalam tulisan ini, ia berargumen bahwa halaman rumah, sebagai ruang penggodokan agenda komunitas dan laboratorium untuk percobaan ekspresi seni di wilayah urban sekaligus lokus penelitian, masih perlu dieksplorasi terus menerus. Ia mengaitkan juga gagasan ini dengan upaya ketahanan sosial di masa pandemi, dengan membangun apa yang ia sebut sebagai imunitas-bersama (ko-imunitas).
Fokus pada isu sejarah di dalam edisi ini tercermin salah satunya dalam tulisan Ibrahim Soetomo. Penelitiannya yang berjudul Pencarian Identitas Keindonesiaan dalam Manifesto-manifesto Seni di Indonesia, membahas pencarian identitas ke-indonesiaan dalam dunia seni rupa melalui manifesto-manifesto seniman dan gerakan seni di Indonesia. Ibrahim menganalisa secara kontekstual tiga belas manifesto seni yang dipublikasikan dalam kurun waktu 1950 – 2011, yaitu: Surat Kepercayaan Gelanggang; Mukadimah Lekra 1950 & 1959; Manifes Kebudayaan; Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru; Manifesto Seni Rupa Baru; Seniku, “Seni Pembebasan”; Pernyataan Semsar Siahaan; Seni Rupa Penyadaran; Mukadimah Taring Padi; Manifesto Blup Art; Manifes Seni Rupa Indonesia; dan Siasat. Studi terhadap manifesto seni ini melengkapi kajian penting lainnya mengenai ke-indonesiaan dalam seni rupa Indonesia yang umumnya berdasarkan pada kajian atas polemik, kritik, dan esai-esai seni.
Telaah dan kritik terhadap institusi pendidikan tinggi menjadi fokus utama tulisan Kurniawati Gautama dalam edisi ini. Dengan judul tulisan Lembaga Pendidikan yang Melenceng dari Niat Luhur Pendidikan, Nia memfokuskan pada pembahasan mengenai praktik pendidikan tinggi seni swasta di Indonesia. Pemaparan yang mendalam mengenai sejarah pendidikan di Indonesia beserta gagasan yang melatarbelakanginya dituliskan sebagai landasan refleksi kritisnya pada praktik yang ia alami saat ini. Seiring dengan berjalannya waktu, dunia pendidikan mengalami dilemanya sendiri terutama terkait dengan tuntutan-tuntutan birokrasi dan keberlangsungan yang menjadi tantangan terhadap ideologi, sikap, dan integritas para pelaku pendidikan di dalamnya. Selain pembacaan kesejarahan yang cukup terperinci, sebagai sebuah kritik, tulisan ini tidak hanya menyasar institusi pendidikan, namun juga para pengajar, peserta didik, serta sistem pendidikan yang lebih luas lagi di Indonesia.
Dalam Matinya Kritik Seni Rupa Indonesia, Matinya Budaya Seni Rupa Indonesia, Tri Aru Wiratno memaparkan argumentasinya mengenai kematian kritik seni rupa di Indonesia yang berdampak pada matinya budaya seni rupa Indonesia. Selain membahas paradigma kritik secara ringkas, tulisan ini mengaitkan peran praktik kapitalisasi seni dalam medan seni rupa dalam melakukan devaluasi kritik seni. Ini yang kemudian bagi Tri Aru, telah menggeser peran seni rupa lebih sebagai media hiburan, ketimbang menampilkan aspek gagasan karya dan potensi kritisnya.
Tulisan pamungkas dalam edisi ini berasal dari perupa muda Wina Luthfiyya Ipnayati, yang memaparkan secara terperinci gagasan dibalik karyanya dengan judul Menapak Jejak Sang Pesinden. Karya ini dikonstruksikan sebagai sebuah proyek seni, yang mengangkat peran Marni, seorang pesinden dari Desa Beber, Ligung, Majalengka, dalam mengembangkan dua kesenian daerah yaitu Kliningan dan Tarling. Dalam pembangunan gagasannya, penulis menekankan pada studi arsip dan wawancara yang ia lakukan sebagai bagian dari proyek seninya. Beberapa keluaran yang dihasilkan adalah visualisasi reka peristiwa, instalasi objek bersejarah, hingga presentasi dalam format pameran seni rupa. Dengan studi dan proyek seni yang dihadirkan, Wina menekankan kembali pentingnya upaya pelestarian kesenian tradisi melalui pembacaan ulang dan interpretasi visual yang ia kembangkan untuk generasi saat ini.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih atas kerjasama segenap pihak sehingga edisi pertama Jurnal NATAR ini dapat hadir di depan kita semua – terutama kepada para penulis: Ahmad Khairuddin, Anwar Jimpe Rachman, Ibrahim Soetomo, Kurniawati Gautama, Tri Aru Wiratno dan Wina Luthfiyya Ipnayati yang telah bekerja bersama dalam mempersiapkan dan mematangkan teksnya bersama para penyunting.